Jumat, 04 November 2011

Pemanasan Global: 10 Ciri-cirinya

Pemanasan Global: 10 Ciri-cirinya
Ada yang bilang pemanasan global itu hanya khayalan para pecinta lingkungan. Ada yang bilang itu sudah takdir.
Ilmuwan juga masih pro dan kontra soal itu. Yang pasti, fenomena alam itu bisa dirasakan dalam 10 kejadian berikut ini.
Dan yang pasti ini bukan imajinasi belaka, sebab kita sudah mengalaminya.



* Kebakaran hutan besar-besaran

Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini,
kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran
yang merajalela ini dengan temperatur yang kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih
awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar.



* Situs purbakala cepat rusak



Akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan
beberapa waktu silam. banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua. Situs bersejarah berusia 600
tahun di Thailand, Sukhotai, sudah rusak akibat banjir besar belum lama ini.



* Ketinggian gunung berkurang



Tanpa disadari banyak orang, pegunungan Alpen mengalami penyusutan ketinggian. Ini diakibatkan melelehnya es di
puncaknya. Selama ratusan tahun, bobot lapisan es telah mendorong permukaan bumi akibat tekanannya. Saat lapisan
es meleleh, bobot ini terangkat dan permukaan perlahan terangkat kembali.



* Satelit bergerak lebih cepat



Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian terluat
atmosfer sangat tipis, tapi dengan jumah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di atmosfer bagian atas
menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi, dan mendinginkan udara sekitarnya. Makin banyak
karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan, dan satelit bergerak lebih cepat.



* Hanya yang Terkuat yang Bertahan



Akibat musim yang kian tak menentu, maka hanya mahluk hidup yang kuatlah yang bisa bertahan hidup. Misalnya,
tanaman berbunga lebih cepat tahun ini, maka migrasi sejumlah hewan lebih cepat terjadi. Mereka yang bergerak lambat
akan kehilangan makanan, sementar mereka yang lebih tangkas, bisa bertahan hidup. Hal serupa berlaku bagi semua
mahluk hidup termasuk manusia.



* Pelelehan Besar-besaran



Bukan hanya temperatur planet yang memicu pelelehan gununges, tapi juga semua lapisan tanah yang selama ini
membeku. Pelelehan ini memicu dasar tanah mengkerut tak menentu sehingga menimbulkan lubang-lubang dan
merusak struktur seperti jalur kereta api, jalan raya, dan rumah-rumah. Imbas dari ketidakstabilan ini pada dataran tinggi
seperti pegunungan bahkan bisa menyebabkan keruntuhan batuan.



* Keganjilan di Daerah Kutub



Hilangnya 125 danau di Kutub Utara beberapa dekade silam memunculkan ide bahwa pemanasan global terjadi lebih
“heboh” di daerah kutub. Riset di sekitar sumber airyang hilang tersebut memperlihatkan kemungkinan mencairnya bagian
beku dasar bumi.



* Mekarnya Tumbuhan di Kutub Utara



Saat pelelehan Kutub Utara memicu problem pada tanaman danhewan di dataran yang lebih rendah, tercipta pula
situasi yang sama dengan saatmatahari terbenam pada biota Kutub Utara. Tanaman di situ yang dulu terperangkap
dalam es kini tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan terjadinya peningkatan pembentukan fotosintesis di
sejumlah tanah sekitar dibanding dengan tanah di era purba.



* Habitat Makhluk Hidup Pindah ke Dataran Lebih Tinggi



Sejak awal dekade 1900-an, manusia harus mendaki lebihtinggi demi menemukan tupai, berang-berang atau tikus
hutan. Ilmuwan menemukan bahwa hewan-hewan ini telah pindah ke dataran lebih tinggi akibat pemanasan global.
Perpindahan habitat ini mengancam habitat beruang kutub juga, sebab es tempat dimana mereka tinggal juga mencair.

Forum - | Film Pendek FireBoard Forum Component version: NEW VERSION GOES HERE Generated: 25 May, 2009, 18:40


* Peningkatan Kasus Alergi



Sering mengalami serangan bersin-bersin dan gatal di matasaat musim semi, maka salahkanlah pemanasan global.
Beberapa dekade terakhir kasus alergi dan asma di kalangan orang Amerika alami peningkatan. Pola hidupdan polusi
dianggap pemicunya. Studi para ilmuwan memperlihatkan bahwa tingginya level karbondioksida dan temperatur
belakangan inilah pemicunya. Kondisi tersebut juga membuat tanaman mekar lebih awal dan memproduksi lebih banyak
serbuk sari.

Pemanasan Global Picu Hewan Mengecil

Pemanasan Global Picu Hewan Mengecil - Ternyata efek dari Pemanasan Global Picu Hewan Mengecil di London banyak spesies hewan yang mengalami penyusutan ukuran fisik. Efek ini merupakan akibat pemanasan global yang kian parah. Kini ilmuwan berhasil mengetahui penyebabnya.

Spesies berdarah dingin telah lama bereaksi pada fenomena yang dikenal sebagai ‘aturan ukuran suhu’ di mana tiap individu satu spesies akan mencapai ukuran dewasa yang lebih kecil ketika suhu diperbesar.

Peneliti Queen Mary dari University of London mengaku berhasil menemukan penyebabnya. Ilmuwan mengatakan, pada banyak spesies berdarah dingin, tingkat pertumbuhan atau seberapa cepat massa terakumulasi dan tingkat perkembangan atau seberapa cepat individu melewati tahapan kehidupan secara konsisten ‘dipisahkan’ dengan perkembangan yang lebih sensitif pada suhu dibanding pertumbuhan.

“Pertumbuhan dan perkembangan meningkat pada tingkat yang berbeda ketika suhu menghangat. Konsekuensinya, makin hangat suhu, spesies tumbuh lebih cepat namun juga dewasa lebih cepat dan akibatnya, ukuran mereka mengecil,” papar peneliti Andrew Hirst.

Peneliti mengatakan seperti ditulis UPI, temuan ini menunjukkan tingkat dasar semua organism tak berbuah sejalan satu sama lain dengan pemanasan global.

Akibat Pemanasan Global, dalam 50 Tahun Ke depan Pelayaran di Selat Malaka akan menurun drastis

Akibat Pemanasan Global, dalam 50 Tahun Ke depan Pelayaran di Selat Malaka akan menurun drastis

Kamis, 2 Juni 2011 - Pemanasan global dalam 40 tahun ke depan akan memotong jaringan transportasi Artik seperti pedang bermata dua, membatasi akses di daerah tertentu dan meningkatkan akses di tempat lain, ramal sebuah studi dari UCLA.


“Saat es laut terus meleleh, akses lewat laut akan meningkat, namun ketersediaan jaringan jalan yang penting tergantung pada suhu beku dan terancam iklim yang menghangat,” kata   Scott Stephenson, seorang mahasiswa pasca sarjana UCLA dalam geografi dan penulis utama studi ini.
Pemenangnya diduga adalah masyarakat pesisir, operasi ekstraksi sumber daya, wisata, nelayan dan masalah perkapalan, kata para peneliti. Pecundangnya adalah pertambangan darat dan operasi kayu, pengeboran gas dan minyak darat, dan masyarakat pedalaman yang kecil yang sering kali adalah masyarakat pribumi. Bahkan “jalan emas” Kanada utara yang terkenal, Tibbitt-Contwoyto yang dikatakan sebagai jalan es paling menguntungkan di dunia, akan menderita, menurut para ilmuan.
Temuan ini muncul dalam edisi terbaru dari Nature Climate Change.
“Persepsi Populer menyatakan bahwa pemanasan iklim akan berarti pembukaan dari Kutub Utara, tetapi penelitian kami menunjukkan bahwa ini hanya sebagian begitu,” kata rekan penulis Laurence C. Smith, seorang profesor geografi UCLA   dan penulis ” The World in 2050: Four Forces Shaping Civilization’s Northern Future” (Dutton Books, 2010). “Naiknya akses maritim bagi kapal akan dibalas  dengan jatuhnya akses kendaraan di darat.”
Seiring dengan veteran geografi UCLA John A. Agnew, Stephenson dan   Smith model aksesibilitas terintegrasi yang ada untuk Arktik dengan Pusat Nasional untuk penelitian Atmosfer Research  merupakan model iklim  yang banyak digunakan untuk abad mendatang. Para peneliti merata-rata tingkat aksesibilitas bulan-ke-bulan untuk dua periode waktu: 2010-2014 dan 2045-2059. Mereka kemudian membandingkan kedua skenario.
Dengan kenaikan suhu keseluruhan antisipasi 2-3,5 derajat Celsius pada 2050 – dan meningkat lebih tajam dari 4-6 derajat Celsius di musim dingin – perubahan iklim diduga memiliki   efek lebih dramatis di Kutub Utara daripada tempat manapun di Bumi.
Salah satu korban besar adalah jalan es sementara, menurut penelitian ini. Dibangun di tanah beku, danau, sungai dan daerah rawa menggunakan salju dan es dipadatkan dan lembaran es, jalan tersebut saat ini menyediakan akses ke petak besar daerah pedalaman dimana pembangunan jalan biasa tidak layak.
Akibatnya, delapan negara yang berbatasan Kutub Utara – Kanada, Finlandia, Greenland, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia dan Amerika Serikat – diduga mengalami penurunan dalam aksesibilitas jalan tanah musim dingin. Kerugian dalam rentang akses dari 11 persen menjadi 82 persen, tergantung pada wilayah tersebut, para ahli geografi menghitung.
Secara absolut, Kanada dan Rusia akan kehilangan potensi jalan musim dingin akibat peningkatan suhu akan mencegah sampai 1 juta km persegi dari pengerasan menjadi jalan raya potensial, para peneliti menemukan. Pada tahun 2020, jalan musim dingin Tibbitt-Contwoyto, yang dipopulerkan   seri History Channel   ” Ice Road Truckers,” diproyeksikan untuk kehilangan 17 persen dari operasi 8 sampai 10-minggu.
Dengan kerugian ini akan datang keterlambatan parah, karena pelancong darat dipaksa untuk menggabungkan transportasi kendaraan dengan sarana lebih lambat, seperti kapal feri.
Sebuah contoh yang diberikan dalam studi ini adalah jalan darat dari ibukota Northwest Territories , Yellowknife kepada masyarakat Kanada utara jauh di Bathurst Inlet. Pada pertengahan abad, perjalanan, yang sekarang membutuhkan 3,8 hari akan untuk menjadi   6,5 hari.
Studi ini melihat aksesibilitas untuk kendaraan dua ton, setara dengan sedan standar. Kerugian diperkirakan lebih besar untuk rig besar, para peneliti tunjukkan. Sebuah proyek masa depan akan melibatkan penyempurnaan model untuk berbagai kendaraan yang lebih besar.
” masyarakat jauh yang bergantung pada jalan musim dingin, terutama yang darat, mungkin harus beralih ke layanan kargo udara, yang secara dramatis akan meningkatkan biaya persediaan,” kata Stephenson. “Itu akan membuat hidup yang lebih keras di komunitas-komunitas.”
Sebaliknya, perubahan iklim diharapkan dapat member napas kehidupan baru ke dalam masyarakat pesisir dengan meningkatkan pengiriman seluruh Arktik, terutama untuk kapal Tipe A yang memiliki kemampuan  melanggar es terbatas. (Kapal ini digunakan secara luas untuk pelayaran komersial di Laut Baltik dan Kanada utara, namun kapal murah ini     tanpa kemampuan memecahkan es tetap menjadi norma dalam pengiriman global saat ini, dan tingkat aksesibilitas mereka pada tahun 2050 adalah subyek dari studi di masa depan oleh     tim yang sama.)
Pada tahun 2050, tiga dari empat rute pelayaran utama akan sepenuhnya diakses dari bulan Juli sampai September untuk kapal Tipe A  , penelitian ini memprediksi. Salah satu rute pelayaran sangat baru yang belum memiliki nama resmi membentang dari Rotterdam, Belanda, ke Selat Bering, bagian itu dijuluki sebagai “Rute Kutub Utara  ” oleh penulis penelitian.
“Jika Anda bisa membayangkan mengambil perahu dari Eropa langsung ke Alaska, sesuai dengan hasil kami untuk Rute Kutub Utara,” kata Smith.
Juga sepenuhnya akan terakses Rute Laut Utara  , yang membentang dari pelabuhan laut kecil Rusia   barat   Amderma ke pelabuhan kecil Rusia   yang jauh di timur Provideniya, dan Jembatan Arktik, yang membentang dari kota pelabuhan Kanada Churchill ke pelabuhan utama Rusia   Murmansk , kata para geografer  . Jembatan Arktik adalah rute Arktik satunya yang sudah ada dengan andal terbuka selama bulan-bulan musim panas.
Ironisnya, rute laut yang tidak diharapkan untuk menjadi sepenuhnya dilalui untuk seluruh musim panas adalah satu yang paling diharapkan penjelajah   - Jalur Barat Laut . Namun,  membentang dari masyarakat kepulauan kecil Kanada Iqaluit ke kota pesisir Alaska di Nome, rute ini diharapkan menjadi 30 persen lebih mudah diakses kapal Tipe A   pada tahun 2050, hitung para geografer UCLA.
Greenland, Kanada, Rusia dan Amerika Serikat akan menikmati peningkatan akses ke zona ekonomi eksklusif mereka – saluran air lepas pantai yang memiliki akses eksklusif untuk kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan dan lainnya. Laut Arktik yang tinggi, sementara itu, akan menjadi empat kali lebih mudah diakses, karena sekitar 1,8 juta kilometer persegi   yang baru akan dapat dilayari oleh kapal Tipe A.
“Ini akan menjadi kabar baik untuk kepentingan pengiriman global, yang berdiri untuk menuai penghematan dengan memindahkan kargo melalui bagian ini daripada melalui Terusan Panama, Terusan Suez atau Selat Malaka,” kata Stephenson.

Pemanasan Global Picu Cuaca Ekstrem

Fenomena hujan, badai dan salju saat ini semakin ekstrem. Para peneliti berhasil mengaitkan anomali cuaca yang sering menyebabkan banjir mematikan ini dengan pemanasan global hasil ulah tangan manusia.
Dua penelitian yang diterbitkan dalam jurnal “Nature” pada bulan Februari tahun ini menyebutkan, fenomena hujan lebat yang berkepanjangan terkait dengan kondisi meningkatnya gas rumah kaca.
Para peneliti dari Skotlandia dan Kanada menganalisis semua fenomena hujan dan salju ekstrem yang terjadi dari tahun 1951 hingga 1999 di wilayah bumi bagian utara ( Northern Hemisphere). Mereka menemukan bahwa badai yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir terbukti 7% lebih basah. Para peneliti menyatakan temuan ini adalah temuan yang signifikan.
Para peneliti tidak menyebut fenomena cuaca tertentu namun menganalisis semua kejadian iklim ekstrem di wilayah bumi bagian utara. Semua kejadian yang diteliti mirip dengan bencana alam yang terjadi tahun lalu yaitu hujan deras yang memicu banjir mematikan di Pakistan dan kota Nashville, Tennessee, AS serta musim dingin yang parah di sejumlah negara bagian di AS.
Penelitian ini berakhir pada 1999 – yang menurut para ilmuwan adalah tahun terakhir dimana pemanasan global semakin menunjukkan efeknya. Kedua penelitian ini menurut laporan AP menggugurkan argumen yang menyebut pemanasan global adalah “kejahatan tanpa korban” (“victimless crime”).
Myles Allen, ilmuwan dari Universitas Oxford yang ikut menulis penelitian kedua menyebutkan, cuaca ekstrem bertanggung jawab atas kerugian harta dan jiwa yang dialami wilayah-wilayah tersebut. Melalui penelitian ini, ilmuwan berhasil membuktikan bahwa banjir di Inggris terkait dengan perubahan iklim.
Walau tidak semua kondisi hujan dan salju ekstrem memicu banjir namun sejak tahun 1950 – menurut data bencana dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) – banjir sudah menelan korban lebih dari 2,3 juta jiwa.
Penelitian di Inggris berfokus pada banjir yang terjadi di England dan Wales pada tahun 2000. Bencana ini menimbulkan kerugian sebesar US$1,7 miliar dan tercatat sebagai musim semi paling basah selama 230 tahun terakhir.
Para peneliti menemukan fakta bahwa pemanasan global menggandakan peluang terjadinya banjir. Untuk pertama kalinya ilmuwan berhasil menemukan “sidik jari” pemanasan global yang disebabkan oleh ulah tangan manusia di semua bencana alam ekstrem di sejumlah negara.
Penelitian lain kini tengah berlangsung untuk membuktikan kaitan gelombang panas mematikan di Rusia dan banjir di Pakistan dengan pemanasan global.
Sidik jari pemanasan global juga ditemukan di lebih dari selusin fenomena ekologis lain seperti: meningkatnya suhu daratan dan lautan, panas di dasar samudera, kondisi suhu ekstrem, meningkatnya permukaan air laut, kelembapan di darat dan udara, jumlah curah hujan, kebakaran dan mencairnya es di Antartika.
Xuebin Zhang, ilmuwan yang bekerja untuk pemerintah Kanada yang turut meneliti kejadian iklim ekstrem ini menyebutkan, semua pertanda ini adalah tanda pemanasan global. “Pemanasan global telah memengaruhi dan mengepung kita dari berbagai sisi.”

Pemanasan Global Mempengaruhi Musim Panen

Pemanasan Global Mempengaruhi Musim Panen


Metrotvnews.com, Bone Bolango: Cuaca yang tidak menentu akibat terimbas dari adanya global warming (pemanasan global), turut berpengaruh terhadap musim panen padi, jagung, dan sejumlah komoditas lainnya. Dalam rangka hari pangan nasional yang akan datang pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah langkah guna mengantisipasi kerawanan pangan.

Sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia di antaranya melalui penyediaan badan pusat informasi jagung di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Langkah tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman kerawanan pangan.

Sesuai Undang-Undang nomor 7 Tahun 1996, tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein. Di mana pada tahun 2003, tingkat ketersediaan pangan nasional sebesar 3.076 kilo kalori per kapita per hari dan 76,54 gram protein per kapita per hari.

Angka tersbeut telah melebih standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan widyakarya nasional pangan dan gizi. Meski demikian kecukupan tingkat nasional tersebut tidak menjamin kecukupan konsumsi di tingkat rumah tangga atau individu.(DNI)

Saling Komunikasi Antar Bakteri Picu Pemanasan Global

Saling Komunikasi Antar Bakteri Picu Pemanasan Global

Jakarta, Aktivitas manusia telah sering dibahas sebagai penyebab pemanasan global (global warming). Namun, siapa yang menyangka bahwa aktivitas bakteri pun turut menyumbangkan peran dalam global warming. Aktivitas itu kala bakteri saling berkomunikasi dengan bakteri lain.

Global warming mengacu pada meningkatnya suhu rata-rata atmosfer bumi dan lautan karena efek yang terkait. Sebagian besar global warming disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia seperti penggundulan hutan dan penggunaan bahan bakar fosil.

Tapi peneliti Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) telah menemukan bahwa komunikasi bakteri dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap iklim bumi. Di laut, bakteri menyatu pada partikel kecil yang kaya karbon yang tenggelam dan terkikis ketika menembus kedalaman.

Ahli biogeokimia kelautan dari WHOI Laura Hmelo, Benjamin Van Mooy dan Tracy Mincer menemukan bakteri di dalam lautan tersebut akan mengirimkan sinyal-sinyal kimia untuk melihat keberadaan bakteri lain di lingkungan sekitar.

Jika bakteri-bakteri tersebut merasa cukup mengenai jumlah kelompok lain yang ada di dekatnya, maka kelompok bakteri tersebut secara massal akan mulai mensekresi (mengeluarkan) enzim. Enzim yang disekresi tersebut akan digunakan untuk memecah karbon yang mengandung molekul menjadi bentuk partikel yang lebih mudah dicerna.

Para peneliti menemukan enzim yang terkoordinasi dengan baik sangat menguntungkan kelompok bakteri yang menyatu dengan partikel di dasar laut. Hmelo dan rekan-rekannya telah menemukan bukti yang menunjang pernyataan tersebut pada kehidupan laut.

"Memang di luar dugaan kami, bahwa bakteri dapat berkomunikasi dengan sejenisnya dan secara massal melakukan sekresi enzim. Tetapi hal tersebut memang secara nyata terjadi dan telah terbukti melalui penelitian yang telah kami lakukan," kata Hmelo, ketika berbicara di University of Washington seperti dilansir dari ScienceDaily, Minggu (16/10/2011).

Sumber karbon dalam partikel tersebut adalah atmospheric carbon dioxide. Atmospheric carbon dioxide merupakan gas rumah kaca yang dapat menangkap panas. Komunikasi bakteri dapat menyebabkan pelepasan karbon dari partikel di kedalaman laut dangkal. Sehingga mencegah partikel tersebut tenggelam di kedalaman laut atau dasar laut.

Ilmuwan WHOI menunjukkan hasil komunikasi bakteri dapat mempengaruhi iklim bumi. Hal tersebut dilakukan melalui mekanisme yaitu penarikan karbon dioksida dari udara dan ditransfer ke dasar laut.

Dan ketika karbon dioksida telah ditarik ke dasar laut maka tidak dapat dengan mudah kembali ke atmosfer. Hal tersebut merupakan bukti pertama bahwa komunikasi bakteri memainkan peran penting dalam siklus karbon di bumi.

"Hal tersebut sangat menakjubkan bahwa apa yang terjadi di laut oleh karena bakteri sangat mempengaruhi siklus karbon di bumi, sehingga akhirnya mempengaruhi iklim bumi," kata para peneliti.

Penelitian tersebut didanai oleh National Science Foundation and the Office of Naval Research. Ulasan awal makalah hasil penelitian tersebut telah diterbitkan secara online pada Environmental Microbiology Reports.

Masalah pemanasan global terus menjadi perhatian karena perubahan iklim yang drastis akan memunculkan banyak penyakit baru.

Polusi Malah Menunda Pemanasan Global

Polusi Malah Menunda Pemanasan Global
KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Cerobong asap menghiasi senja di kawasan pesisir, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (11/10/2010). Selain emisi gas buang kendaraan bermotor, sektor industri juga memiliki andil dalam pencemaran udara dan pemanasan global.
KOMPAS.com — Emisi yang dihasilkan dari penggunaan batu bara oleh negara-negara Asia diperkirakan menunda pemanasan global selama satu dekade sejak 1998. Meskipun demikian, ancaman efek rumah kaca masih nyata dan dampaknya dapat terasa ketika negara-negara berkembang berhasil mengatasi polusi.
Penundaan kenaikan suhu itu diakibatkan sulfur dalam jumlah sangat banyak dan memiliki efek mendinginkan pada planet. Aerosol yang dihasilkan dari sulfur menyebabkan pembentukan lapisan awan tebal yang membuat sinar matahari tidak sepenuhnya masuk ke bumi.
"Penundaan ini bisa dibilang fatamorgana," ujar para peneliti yang berasal dari berbagai universitas, termasuk Boston dan Harvard University dari AS dan University of Turku dari Finlandia. "Efek dari pelepasan karbon selain sulfur akan muncul dalam jangka panjang," demikian tertera dalam laporan yang diterbitkan hari Minggu lalu.
Penundaan peningkatan temperatur ini tidak akan berlangsung lama. Demikian dijelaskan peneliti. Ketika negara-negara berkembang berhasil mengatasi polusi, emisi sulfur juga akan berkurang. "Aerosol di atmosfer akan berkurang dan suhu planet akan meningkat cepat mengingat jumlah karbon di atmosfer pun sudah banyak," ujarnya.
Laporan itu juga berisi tentang fakta bahwa peningkatan temperatur global tidak berubah secara signifikan selama tahun 1998 sampai 2008 meskipun berton-ton emisi karbon dilepaskan ke atmosfer.
Emisi karbon pada masa itu banyak dihasilkan oleh negara-negara Asia yang ekonominya sedang berkembang. (National Geographic Indonesia/Alex Pangestu)

PERUBAHAN IKLIM

PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim, global warming, memang jadi materi yang tak ada habisnya untuk dibahas. Lihat saja bagaimana tak menentunya iklim saat ini. Apakah ini pengaruh alam yang sedang bergolak atau adakah pengaruh manusia di dalamnya?
Keindahan alam Papua. Lautan, dana dan sungai mengalami peningkatan temperatur jadi semakin hangat. Kredit foto : Nggieng
Hasil penelitian terbaru dari NASA menunjukan perbuatan manusia dalam kaitan dengan prubahan iklim telah memberi dampak yang sangat luas terhadap sistem alam, termasuk pencairan lapisan es, mekarnya tanaman lebih cepat di Eropa, dan turunnya produktivitas danau di Afrika. Penelitian yang dilakukan oleh Cynthia Rosenzweig dari NASA’s Goddard Institute for Space Science di New York beserta para peneliti dari 10 institusi yang berbeda ini mencoba membuat hubungan dampak secara fisik maupun biologi yang terjadi sejak tahun 1970 bersamaan dengan maningkatnya temperatur sepanjang periode tersebut. Hasilnya, pemanasan yang terjadi secara luas memang berasal dari dampak ulah manusia di seluruh Bumi.
Penelitian ini merupakan yang pertama kali untuk mempelajari hubungan antara set data temperatur global yang ada, hasil model iklim, dan melakukan pengamatan terhadap perubahan yang terjadi dalam skala luas terhadap sistem fisis dan biologi untuk menunjukan keterkaitannya antara aktivitas manusia, iklim dan dampaknya. Hasil pengamatan menunjukan, ada hubungan antara perbuatan manusia dengan perubahan iklim dan pengamatan terhadap dambak di Bumi juga menunjukan kebenaran yang sama dalam skalan kontinental, umumnya di Amerika Utara, Eropa dan Asia.
Migrasi burung. Image courtesy : Jeff Poklen, Science Daily
Untuk sampai pada kesimpulan hubungan tersebut, dilakukan analisa database lebih dari 29 000 seri data yang didapat dari hasil pengamatan terhadap dampak yang terjadi di sistem alam di Bumi. Data tersebut dikumpulkan dari 80 studi dalam rentang 20 tahun dari 1970 -2004. Dampak yang diamati dalam penelitian ini adalah perubahan dalam sistem fisis sperti glacier yang makin menipis, pencairan dataran es, dan makin hangatnya danau dan sungai. Akibat lainnya juga terjadi pada sistem biologi, seperti daun yang kembali muncul dan bunga yang bermekaran lebih cepat, burung-burung tiba lebih cepat dalam periode migrasi, serta tumbuhan dan hewan yang berpindah dari kutub ke kutub dalam jumlah yang lebih besar. Dalam lingkungan yang kaya air seperti lautan, danau dan sungai, plankton dan ikan juga mulai bergeser dari kondisi adaptasi dingin kini harus bisa beradaptasi dengan air yang lebih hangat.
Dalam skala global, 90% hasil pengamatan menunjukan adanya perubahan dalam sistem fisis dan biologi secara konsisten terhadap menghangatnya Bumi. Hal lainnya, perubahan tanah yang juga berubah dari penggunaan hutan ke pertanian ternyata membawa dampak lain. Pada akhirnya kesimpulan yang bisa diambil, manusia memang jadi salah satu faktor penting dalam perubahan iklim yang sedang terjadi di Bumi. Pengaruh itu terjadi lewat peningkatan emisi gas rumah kaca , dan itu terjadi secara global di Amerika, Eropa dan Aisa. Di beberapa benua termasuk Afrika, Amerika Selatan dan Australia, hasil dokumentasi dari pengamatan terhadap perubahan yang terjadi dalam hal fisik dan biologi masih jarang terhadap kaitan pemanasan global tersebut sebagai akibat dari ulah manusia. Masih dibutuhkan pengamatan dan penelitian lebih lanjut untuk benua-benua tersebut untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti, karena penelitian disana masih kurang.
Apapun itu mari kita mulai dari diri kita setidaknya untuk mebuat lingkungan disekitar kita jadi lebih nyaman untuk dihuni.

Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
  • globalisasi ekonomi dan implikasinya,
  • otonomi daerah dan implikasinya,
  • penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
  • pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
  • pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
  • daur ulang hidrologi,
  • penanganan land subsidence,
  • pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
  • pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
  • sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
  • beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
  • Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
  • Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
  • Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
  • Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
  • Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.

Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
  • Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
  • Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
  • Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
  • Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
  • Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
  • Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
  • Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
  • Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
  • Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
  • Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
  • Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
  • Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
  • Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
  • Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

Pemanasan Global

Pemanasan Global

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Blogger news

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More